BAB
I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Farmasi adalah suatu
profesi kesehatan yang berhubungan dengan pembuatan dan distribusi dari produk
yang berkhasiat obat, ini meliputi seni dan ilmu pengetahuan dari sumber alam
atau sintetik menjadi material atau produk yang cocok dipakai untuk mencegah, dan
mendiagnosa penyakit (Anief, 2005: 1).
Beberapa
cabang ilmu farmasi yaitu farmasetika, teknologi farmasi, farmakologi, farmakologi klinis, farmakodinamika, farmakognosi,
farmasi fisika, farmakoekonomi, biofarmasi, farmakokinetika, farmakoterapi,
toksikologi, kimia farmasi, biologi
farmasi, dan lain-lain.
Salah
satu cabang ilmu farmasi, yaitu farmasetika dasar. Farmasetika merupakan ilmu yang mempelajari tentang cara penyediaan obat
meliputi pengumpulan, pengenalan, pengawetan, dan pembakuan bahan obat-obatan,
seni peracikan obat, serta pembuatan sediaan farmasi menjadi bentuk tertentu
hingga siap digunakan sebagai obat, serta perkembangan obat yang meliputi ilmu
dan teknologi pembuatan obat dalam bentuk sediaan yang dapat digunakan dan
diberikan kepada pasien (Syamsuni, 2006: 1).
Ada berbagai jenis sediaan farmasi yang
digunakan untuk diberikan kepada pasien. Beberapa diantaranya adalah serbuk,
salep, supositoria, tablet, kapsul, emulsi, suspensi, dan masih banyak lagi.
Pada praktikum kali ini, dilakukan pembuatan emulsi.
Mengingat pentingnya pengetahuan mengenai cara pembuatan sediaan emulsi yang
baik dan benar serta, hal-hal yang harus diperhatikan saat pembuatan emulsi
maka, dilakukan praktikum mengenai cara pembuatan sediaan emulsi dengan zat aktif
Paraffinum liquidum sebagai zat aktif, Gummi Arabicum sebagai emulgator atau
penstabil emulsi, Sirup Simplex sebagai pemanis, Aethanolum 90% sebagai
pembantu kelarutan, dan Aqua Destilata sebagai pelarut.
I.2 Manfaat dan Tujuan
I.2.1 Manfaat
Adapun manfaat dari praktikum ini yaitu mahasiswa
dapat mengetahui dan memahami cara meracik atau membuat sediaan yang baik dan
benar, hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pembuatan sediaan serta
cara penyimpanan sediaan.
I.2.2 Tujuan
Dari
praktikum kali ini praktikan diharapkan:
1. Mahasiswa
mampu mengetahui dan memahami sediaan emulsi.
2. Mahasiswa
mampu mengetahui cara penggunaan sediaan emulsi.
3. Mahasiswa
mampu mengetahui dan memahami penyimpanan sediaan emulsi.
4. Mahasiswa
mampu mengetahui dan memahami cara pembuatan sediaan emulsi.
I.3 Prinsip Kerja
Prinsip dasar dari percobaan emulsi ini yaitu
menggunakan metode trituration dimana pencampuran dilakukan dalam lumpang dan
alu, menggunakan zat aktif paraffin liquid, gummi arabicum sebagai emulgator,
sirup simpleks sebagai pemanis dan pengawet, alkohol 90% sebagai pembantu
kelarutan dan aqua destilata sebagai bahan dasar pembuatan emulsi tipe minyak
dalam air.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
II.1 Dasar Teori
II.1.1 Pengertian
Emulsi
Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau
larutan obat, terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat
pengemulsi atau surfaktan yang cocok (Anief 2004, 132).
Emulsi adalah sistem dua fase yang salah satu cairannya
tedispersi dalam cairan lain dalam bentuk tetesan kecil (Dirjen POM, 1995: 6).
Emulsi merupakan sediaan yang mengandung dua zat yang tidak
tercampur biasanya mengandung air dan minyak, dimana cairan yang saat
terdispersi menjadi butir-butir kecil dalam cairan lain (Purwatiningrum, 2012:
1).
II.1.2 Tipe-Tipe Emulsi
Tipe-tipe
emulsi menurut Gennaro (1969: 298), yaitu:
1. M/A (minyak/air) Suatu emulsi dimana minyak
terdispersi sebagai tetesan-tetesan dalam fase air dan diistilahkan emulsi
minyak dalam air.
2. A/M (air/minyak) Jika air adalah fase terdispersi dan
minyak adalah medium pendispersi, maka emulsi disebut emulsi air dalam minyak.
3. Emulsi Ganda Dikembangkan berdasarkan pencegahan
pelepasan bahanaktif. Dalam tipe emulsi ini dihadirkan 3 fase yang disebut
bentuk emulsi A/M/A atau M/A/M atau disebut “emulsi dalam emulsi”.Emulsi mana
yang terjadi, tergantung dari emulgatornya. Jika emulgator larut dalam air,
maka terbentuk emulsi O/W. Jika emulgator larut dalam minyak maka terbentuk
emulsi W/O.
Sedangkan tipe-tipe emulsi menurut Lachman
(1994: 1030) adalah Jika tetesan-tetesan minyak
didispersikan dalam fase air, fase kontinyu, maka emulsi disebut minyak dalam
air (M/A). Jika minyak merupakan fase kontinyu, emulsi merupakan tipe air dalam
minyak (A/M). Telah diamati bahwa emulsi M/A kadangkadang berubah menjadi
emulsi A/M atau sebaliknya (inversi). Dua tipe emulsi tambahan yang digolongkan
sebagai emulsi ganda, tampaknya diterima oleh para ahli kimia. Secara
keseluruhan memungkinkan untuk membuat emulsi ganda dengan karakteristik minyak
dalam air dalam minyak (M/A/M) atau air dalam minyak dalam air (A/M/A).
II.1.3 Komponen Emulsi
Komponen emulsi menurut Syamsuni (2006: 119),
yaitu:
1.
Komponen dasar, yaitu bahan pembentuk
emulsi yang harus terdapat di dalam emulsi, terdiri atas:
a.
Fase dispers/fase internal/fase diskontinu/fase
terdispersi/fase dalam, yaitu zat cair yang terbagi-bagi menjadi butiran kecil
di dalam zat cair lain.
b.
Fase eksternal/fase kontinu/fase
pendispersi/ fase luar, yaitu zat cair dalam emulsi yang berfungsi sebagai
bahan dasar (bahan pendukung) emulsi tersebut.
c.
Emulgator, adalah bagian dari emulsi yang
berfungsi untuk menstabilkan emulsi.
2.
Komponen tambahan, adalah bahan tambahan
yang sering ditambahkan ke dalam emulsi untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Misalnya corrigen saporis, odoris, colouris, pengawet (preservative), dan anti
oksidan.
II.1.4 Metode Pembuatan Emulsi
Menurut Jenkiens et al (1957: 328), metode
pembuatan emulsi yaitu:
1.
Metode kontinental, metode perbandingan
4,2,1 karena dalam metode ini, 4 bagian minyak diemulsikan, 2 bagian air
ditambahkan, dan 1 bagian akasia.
2.
Metode inggris, metode ini menggunakan
proporsi yang sama dengan metode continental, tapi urutan pencampurannya
berbeda.
II.1.5 Keuntungan dan Kerugian Emulsi
Keuntungan
emulsi menurut Lachman (1994: 1032), yaitu:
1. Beberapa
bahan obat menjadi lebih mudah di absorbs bila obat-obat tersebut diberikan
secara oral dalam bentuk emulsi.
2. Emulsi
memiliki derajat elegasi tertentu dan mudah dicuci bila diinginkan.
3. Pembuatan
emulsi dapat mengontrol viskositas dan derajat kekasaran dari emulsi.
Keuntungan emulsi menurut Gennaro (1990:
1535), yaitu:
1. Dalam emulsi, efek terapeutik dan kemampuan tersebarnya
bahan-bahan ditingkatkan.
2. Rasa dan bau yang tidak menyenangkan dari minyak dapat
ditutupi sebagian atau seluruhnya dengan emulsifikasi. Tehnik penutupan kedua
tersedia untuk formulator tapi harus digunakan dengan hati-hati. Jika pengaroma
dan bahan pemanis ditambahkan dalam emulsi, hanya dalam jumlah minimal
digunakan untuk mencegah gangguan nausea atau lambung yang diakibatkan oleh
pemberian yang dalam jumlah besar.
3. Absorpsi dan penetrasi dari bahan obat dapat dikontrol
lebih mudah jika digabung dalam bentuk emulsi.
4. Aksi emulsi diperpanjang dan efek emollient yang lebih
besar jika dibandingkan dengan sediaan lain.
5. Air merupakan pembawa yang tidak mahal dan suatu
pelarut untuk berbagai obat dan pengaroma yang. dicampur dalam emulsi.
Kekurangan
emulsi menurut Jenkins et al (1957: 314), emulsi memiliki cracked (pecahan) dan bagian terdistribusi di dalam fase internal
adalah bahan yang harus selalu dikocok dalam mikstura. Sedangkan, menurut Ansel
(1989: 377), kerugian emulsi yaitu, adanya penggabungan bulatan-bulatan fase
dalam dan pemisahan fase menjadi satu lapisan.
II.1.6 Ketidakstabilan Emulsi
Ketidakstabilan emulsi menurut Gennaro
(1996: 307), yaitu:
1.
Creaming dan
sedimentasi
Creaming adalah gerakan ke atas dari tetesan relatif
zat terdispersi ke fase kontinu,sedagkan sedimentasi adalah proses pembalikan
yaitu gerakan ke bawah dari partikel.
2.
Agregasi dan
koalesensi
Dalam agregasi (flokulasi) tetesan yang terdispersi
datang bersama namun tidak bercampur. Koalaesensi komplit penyatuan tetesan,
diarahkan untuk mengurangi jumlah tetesan dan pemisahan dua fase yang tidak
saling bercampur.
3.
Inversi
Emulsi dikatakan membalik ketika perubahan emulsi dari
M/A ke A/M atau sebaliknya terjadi. Inversi kadang-kadang terjadi dengan
penambahan elektrolit atau dengan mengubah rasio fase volume.
II.1.7 Cara Menentukan Tipe Emulsi
Menurut Martin (1990: 509), cara
menentukan tipe emulsi adalah sebagai berikut:
1.
Tes Pengenceran
Tetesan
Metode ini berdasarkan prinsip bahwa emulsi bercampur
dengan luar akibatnya, jika air ditambahkan ke dalam emulsi M/A, air akan
terdispersi cepat dalam emulsi. Jika minyak ditambahkan tidak akan terdispersi tanpa
pengadukan yang kuat. Begitu pula dengan emulsi A/M.
2.
Uji Kelarutan Cat
Uji ini berdasarkan prinsip bahwa dispersi cat secara
seragam melalui emulsi jika cat larut dalam fase luar. Amaran, cat larut air
secara cepat mewarnai emulsi M/A tapi tidak mewarnai emulsi tipe A/M. Sudan
III, cat larut minyak dengan cepat mewarnai emulsi A/M, tidak tipe M/A.
3.
Uji Arah Creaming
Creaming adalah fenomena antara 2 emulsi yang terpisah
dari cairan aslinya dimana salah satunya mengapung pada permukaan lainnya. Konsentrasi
fase terdispersi adalah lebih tinggi dalam emulsi yang terpisah. Jika berat
jenis relatif tinggi dari kedua fase diketahui, maka arah creaming dari fase
terdispersi menunjukkan adanya tipe emulsi M/A. jika cream emulsi menuju ke
bawah berarti emulsi A/M. hal ini berdasarkan asumsi bahwa mimyak kurang padat
daripada air.
4.
Uji Hantaran
Listrik
Uji hantaran listrik berdasarkan pada prinsip bahwa
air menghantarkan arus listrik sedangkan minyak tidak. Jika elektrode
ditempatkan pada emulsi menghantarkan artus listrik, maka emulsi M/A. jika
sistem tidak menghantarkan arus listrik, maka emulsi adalah A/M.
5.
Tes Fluoresensi
Banyak minyak jika
dipaparkan pada sinar UV berfluoresensi, jika tetesan emulsi dibentangkan dalam
lampu fluoresensi di bawah mikroskop dan semuanya berfluoresensi, menunjukkan
emulsi A/M. Tapi jika emulsi M/A, fluoresensinya berbintik-bintik.
II.1.8 Macam-Macam Emulgator
Menurut Gennaro (1996: 300-301),
macam-macam emulgator yaitu:
1.
Bahan pengemulsi
sintetik
a.
Anionik, pada sub
bagian ini ialah surfaktan bermuatan (-). Bahan pengemulsi ini rasanya tidak
menyenangkan dan mengiritasi saluran pencernaan.
b.
Kationik, aktivitas
permukaan pada kelompok ini bermuatan (+). Komponen ini bertindak sebagai
bakterisid dan juga menghasilkan emulsi antiinfeksi sepertimpada lotion kulit
dan krem.
c.
Non ionik, merupakan
surfaktan tidak berpisah ditempat tersebar luas digunakan sebagai bahan
pengemulsi ketika kerja keseimbangan molekul antara hidrofik dan lipofilik
2.
Emulgator alam
Banyak emulgator alam (tumbuhan, hewan). Bahan alam
yang diperkirakan hanyalah gelatin, lesitin dan kolesterol.
Gelatin
merupakan suatu protein yang sejak lama digunakan sebagai emulgator. Lesitin
adalah bahan yang berasal dari hewan (telur) dan kacang kedele. Kolesterol
merupakan bahan yang diperoleh antara lain dari lemak bulu domba dan sebagai
konstituen utama dalam adeps lanae (Syamsuni, 2006: 130).
3.
Padatan terbagi
halus
Bagian emulgator ini membentuk lapisan khusus
disekelilin tetesan terdispersi dan menghasilkan emulsi yang meskipun berbutr
kasar, mempunyai stabilitas pisik. Hal ini dapat menyebabkan padatan dapat
bekerja sebagai emulgator dari efek yang ditimbulkan dari pewarna dan serbuk
halus.
Menurut Syamsuni (2006: 127-131), macam-macam
emulgator yaitu:
1. Emulgator Alam
Emulgator alam, yaitu emulgator yang diperoleh dari
alam tanpa proses yang rumit. Dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu:
a. Emulgator dari tumbuh-tumbuhan (Gom arab, tragakan,
agar-agar, chondrus, emulgator lain).
b. Emulgator hewani (Kuning telur dan adeps lanae).
c. Emulgator dari mineral (Magnesium Aluminium Silikat
(Veegum), Bentanoit).
2. Emulgator Buatan atau Sintetis
a. Sabun
b. Tween 20, 40, 60, 80.
c. Span 20, 40, 80.
II.1.9 Sifat-Sifat Emulgator
Beberapa sifat yang
dipertimbangkan dari bahan pengemulsi menurut Gennaro (1996: 300), yaitu:
1. Harus efektif pada permukaan dan mengurangi tegangan antar muka
sampai di bawah 10 dyne/cm.
2. Harus diabsorbsi cepat di sekitar tetesan terdispersi sebagai
lapisan kental mengadheren yang dapat mencegah koalesensi.
3. Memberikan tetesan-tetesan yang potensialnya listriknya cukup
sehingga terjadi saling tolak-menolak.
4. Harus meningkatkan viskositas emulsi.
5. Harus efektif pada konsentrasi rendah.
II.1.10 Mekanisme Kerja Emulgator
Menurut Lachman (1994: 1034),
mekanisme kerja emulgator adalah sebagai berikut:
1.
Penurunan Tegangan
Permukaan
Walaupun pengurangan tegangan permukaan energi bebas
antar muka yang dihasilkan pada dispersi. Peranan zat pengemulsi sebagai batang
antarmuka adalah yang paling penting. Ini dapat dilihat dengan jelas bila
seseorang memperhatikan bahwa banyak polimer dan padatan yang terbagi halus,
tidak efisien dalam menurunkan tegangan antarmuka, membentuk pembatas antarmuka
yang baik sekali, bertindak untuk mencegah penggabungan dan berguna sebagai zat
pengemulsi.
2.
Pembentuk Lapisan
Antarmuka
Pembentukan lapisan-lapisan oleh suatu pengemulsi pada
permukaan tetesan air atau minyak tidak dipelajari secara terperinci.
Pengertian dari suatu lapisan tipis monomolekuler yang terarah dari zat
pengemulsi tersebutpada permukaan fase dalam suatu emulsi. Cukup beralasan
untuk mengharapkan molekul amfifilik untuk mengatur dirinya pada suatu
antarmuka air, minyak dan bagian hidrofilik pada fase air. Juga sudah
ditetapkan dengan baik bahwa zat aktif permukaan cenderung berkumpul pada
antarmuka, dan pengemulsi diabsorbsi pada antar muka minyak dan air sebagai
lapisan monomolekuler. Jika kensentrasi zat pengemulsi cukup tinggi, pengemulsi
membentuk suatu lapisan yang kaku antara fase-fase yang tidak saling bercampur
tersebut, yang bertindak sebagai suatu penghalang mekanik. Baik terhadap adhesi
maupun menggabungnya tetesan-tetesan emulsi.
3.
Penolakan Elektrik
Telah digambarkan bagaimana lapisan antarmuka atau
kristal cair lamellar mengubah laju penggabungan tetesan dengan bertindak
sebagai pembatas. Disamping itu, lapisan yang sama atau serupa dapat
menghasilkan gaya listrik tolak antara tetesan yang mendekat. Penolakan ini
disebabkan oleh suatu lapisan listrik rangkap yang dapat timbul dari gugus-gugus
bermuatan listrik yang mengarah pada permukaan bola-bola yang teremulsi M/A
yang distabilkan dengan sabun Na. Molekul-molekul surfaktan tidak hanya
berpusat pada antarmuka tetapi karena sifat polarnya, molekul-molekul tersebut
terarah juga. Bagian bawah hidrokarbon dilarutkan dalam tetesan minyak,
sedangkan kepala (ioniknya) menghadap ke fase kontinu (air). Akibat permukaan
tetesan tersebut ditabur dengan gugus-gugus bermuatan, dalam hal ini gugus
karboksilat yang bermuatan negatif. Ini menghasilkan suatu muatan listrik pada
permukaan tetesan tersebut menghasilkan apa yang dikenal sebagai lapisan
listrik rangkap.
Potensial yang dihasilkan oleh lapisan rangkap
tersebut menciptakan suatu pengaruh tolak menolak antara tetesan-tetasan
minyak, sehingga mencegah penggabungan. Walaupun potensial listrik tolak tidak
dapat diukur secara langsung untuk membandingkan dengan teori. Toeri kuantitas
yang behubungan, potensial zet dapat ditentukan. Potensial zeta untuk suatu
emulsi yang distabilkan dengan surfaktan sebanding dengan dengan potensial
lapisan rangkap hasil perhitungan. Tambahan pula, perubahan dalam potensial
zeta parallel dengan perubahan potensial lapisn rangkap jika elektrolit
ditaburkan. Hal ini dan data yng berhubungan dengan besarnya potensial pada
antarmuka dapat digunakan untuk menghitung penolakan total atara tetes-tetes
minyak sebagai suatu fungsi dari jeruk antara tetesan tersebut.
4.
Padatan Terbagi
Halus
Bagian emulgator ini membentuk lapisan khusus
disekeliling tetesan terdispersi dan menghasilkan emulsi yang meskipun berbutir
kasar, mempunyai stabilitas fisik. Hal ini dapat menyebabkan padatan dapat
bekerja sebagai emulgator.
II.2 Uraian
Bahan
II.2.1
Alkohol (Dirjen POM,
1979: 65; Rowe et al, 2009: 17; IAI,
2013: 93, 259)
Nama Resmi : AETHANOLUM.
Nama Lain : Etanol,
Alkohol, Ethyl alcohol, Ethyl hydroxide.
Rumus
Molekul : C2H5OH.
Berat
Molekul : 46,07 g/mol.
Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap
dan mudah bergerak; bau khas; rasa
panas. Mudah terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak berasap.
Kelarutan : Sangat
mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan dalam eter P.
Khasiat : Sebagai
antimikroba (membunuh mikrobakterium desinfektan (membasmi kuman
penyakit).
Kegunaan : Pensteril
alat laboratorium, pelarut, dan penstabil.
Peyimpanan : Dalam
wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya, ditempat sejuk, jauh dari nyala
api.
II.2.2 Aqua Destilata (Dirjen
POM, 1979: 96; Rowe et al, 2009: 766)
Nama
resmi : AQUA DESTILLATA.
Nama
lain : Air suling.
Rumus
Molekul : H2O.
Berat
Molekul : 18,02 g/mol.
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak mempunya
rasa, tidak berbau.
Khasiat :
Pelarut.
Kegunaan :
Bahan dasar pembuatan emulsi.
Penyimpanan : Dalam
wadah tertutup baik.
II.2.3 Gummi Arabicum (Dirjen
POM, 1979: 279; Williams et al.,
2004: 5; Tranggono, 1991: 11)
Nama resmi : GUMMI
ACACIAE.
Nama lain : Gom
akasia, gom arab.
Rumus molekul : C36H34O29.
Berat molekul : 250.000- 1.000.000 gr/mol.
Pemerian : Hampir
tidak berbau, rasa tawar seperti lendir.
Kelarutan : Mudah
larut dalam air, menghasilkan larutan yang kental dan tembus cahaya. Praktis
tidak larut dalam etanol (95%) P.
Khasiat : Sebagai penstabil dan pengemulsi.
Kegunaan : Sebagai
emulgator.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
II.2.4 Jasmine Oil (Dirjen POM, 1979: 21; www.guidechem.com/cas-802/8022-96-6.html)
Nama
resmi : OLEA VOLITILIA
Nama
lain :
Jasmine Oil, Minyak Melati, Jasmineabsolute, Oil of jasmine.
Rumus
molekul : C10H16.
Berat molekul : 136,02 g/mol
Rumus
struktur :
Pemerian : Cairan jernih, bau seperti bau bagian tanaman asal
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, dalam etanol 95%, larut dalam kloroform
dan dalam eter.
Khasiat : Aromatika
(pengaroma).
Kegunaan : Sebagai pengaroma.
Penyimpanan : Dalam
wadah tertutup baik.
II.2.5 Methyl Paraben (Dirjen
POM, 1995: 55; IAI, 2013: 93)
Nama
resmi : METHYLIS PARABENUM.
Nama
lain :
Metil paraben.
Rumus
molekul : C8H8O3.
Berat molekul : 152,15 g/mol.
Pemerian : Hablur kecil, tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak berbau
atau berbau khas lemah, mempunyai sedikit rasa terbakar.
Kelarutan : Sukar larut dalam air, dalam benzene, dan dalam karbon
tetraklorida. Mudah larut dalam etanol dan eter.
Khasiat : Antimikroba
(membunuh mikrobakterium).
Kegunaan : Pengawet sirup simpleks.
Penyimpanan : Dalam
wadah tertutup baik.
II.2.6 Parrafin Liquidum (Dirjen
POM, 1979: 475; Rowe et al, 2009: 445:
Dianne, dkk, 2013: 27)
Nama
resmi : PARAFFINUM LIQUIDUM.
Nama
lain :
Propilenglikol
Rumus
molekul : C4H10
Rumus
struktur :
Pemerian : Cairan kental, transparan, tidak berflouresensi, tidak berwarna, hampir
tidak berbau, hampir tidak mempunyai rasa.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol (95%) P, larut dalam
kloroform P dan dalam eter P.
Khasiat : Mengobati
konstipasi (sembelit).
Kegunaan : Zat aktif.
Penyimpanan : Dalam
wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya.
II.2.7 Sakarosa (Dirjen POM,
1995: 762; Rowe et al, 2006: 703)
Nama
resmi : SUCROSUM.
Nama
lain :
Sakarosa.
Rumus
molekul : C12H22O11.
Berat molekul : 342,30 g/mol.
Rumus
struktur :
Pemerian : Hablur putih atau tidak berwarna, massa hablur atau berbentuk kubus,
atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa manis, stabil di udara. Larutannya
netral terhadap lakmus.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, lebih mudah larut dalam air mendidih,
sukar larut dalam etanol, tidak larut dalam kloroform dan eter.
Khasiat : Meningkatkan
viskositas, membantu granulasi, dan pemanis.
Kegunaan : Zat tambahan dan pemanis.
Penyimpanan : Dalam
wadah tertutup baik.
BAB
III
METODE
PRAKTIKUM
III.1 Waktu
dan Tanggal
Praktikum Farmasetika dasar percobaan emulsi dilaksanakan
pada hari jumat tanggal 5 Mei 2017, pada
pukul 07.00 WITA sampai dengan 12.00 WITA, bertempat di Laboratorium Teknologi
Farmasi, Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri
Gorontalo.
III.2 Alat
dan bahan
III.2.1 Alat
1. Batang Pengaduk
2. Botol Coklat
3. Cawan Porselin
4. Gelas
Kimia
5. Gelas Ukur
6. Kaca Arloji
7. Lap Halus
8. Lap
Kasar
9. Lumpang dan Alu
10. Neraca Analitik
11. Penangas Air
12. Pipet Tetes
13. Spatula
14. Sudip
III.2.2 Bahan
1. Alkohol 70%
2. Alkohol 95%
3. Aqua destilata
4. Copy
Resep
5. Etiket
6. Gom Arab
7. Jasmine
Oil
8. Metil
Paraben
9. Paraffin Liquidum
10. Sukrosa
11. Tisu
III.3 Cara
Kerja
III.3.1 Pembuatan
Sirup Simplex
1.
Disiapkan alat dan
bahan yang akan digunakan.
2.
Dibersihkan alat
menggunakan Alkohol 70%.
3.
Dipanaskan air 18
ml menggunakan penangas air.
4.
Ditimbang metil
paraben sebanyak 0,045 gr dimasukkan kedalam air yang telah dipanaskan, diaduk
hingga larut.
5.
Ditimbang sukrosa
sebanyak 11,7 gr, dimasukkan kedalam metil paraben yang telah larut, sedikit
demi sedikit hingga homogen.
6.
Diaduk hingga mendidih.
7.
Didinginkan selama
beberapa menit.
8.
Dituang dalam
wadah dan ditutup dengan aluminium foil.
III.3.2 Kalibrasi
Botol
1.
Disiapkan botol
yang akan digunakan.
2.
Diambil gelas
ukur, kemudian diukur air sebanyak 60 ml dan
dimasukkan ke dalam botol.
3.
Diberi tanda pada
batas 60 ml.
4. Dibuang air yang berada dalam botol.
III.3.3 Pengenceran
Alkohol 95% Menjadi Alkohol 90%
1. Disiapkan alat dan bahan.
2. Dibersihkan alat-alat dengan alkohol 70 %.
3. Dibuat perhitungan pengenceran alkohol menggunakan
rumus:
N1 x V1 = N2 x V2
95% x V1 = 90% x 10
ml
0,95 x V1 = 9
ml/0,95
V1 = 9,47
ml
Jadi, yang harus diambil dari alkohol 95% adalah
sebanyak 9,47 ml.
Aqua destilata =
10 ml – 9,47 ml = 0,53 ml
4. Diambil alkohol sebanyak 9,47 ml menggunakan gelas
ukur.
5. Ditambahkan aqua destilata sebanyak 0,53 ml sampai 10
ml.
6. Diaduk hingga homogen dan ditutup menggunakan aluminum
foil.
III.3.4 Pembuatan
Emulsi
1.
Disiapkan alat dan
bahan yang akan digunakan.
2.
Dibersihkan alat
menggunakan Alkohol 70%
3.
Ditimbang gom arab
4,29 gr, dimasukkan ke dalam mortir.
4.
Diukur aqua
destilata 3,75 ml, dimasukkan ke dalam mortir dan digerus hingga terbentuk
musilago.
5.
Ditimbang paraffin
cair sebanyak 17,14 gr, dimasukkan ke dalam mortir dan digerus hingga tercampur
merata.
6.
Diukur sirup
simpleks 18 ml dan alkohol 90% sebanyak 3 ml, dimasukkan ke dalam gelas ukur,
diaduk hingga homogen.
7.
Dimasukkan campuran
sirup simpleks dan alkohol 90% ke dalam mortir ysng berisi campuran musilago
dan propilenglikol, diaduk hingga tercampur merata.
8.
Diukur aqua
destilata sebanyak 17,57 ml, dimasukkan ke dalam mortir, diaduk hingga
tercampur merata.
9.
Ditambahkan
jasmine oil sebanyak 3 tetes, diaduk hingga semua bahan tercampur merata.
10. Dipindahkan ke dalam gelas kimia.
11. Dimasukkan ke dalam botol 60 ml yang telah
dikalibrasi.
12. Diberi etiket dan dibuat salinan resep.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
|
Sediaan
Emulsi
|
IV.2 Pembahasan
Emulsi adalah sistem dua
fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan lain dalam bentuk
tetesan kecil. Tipe emulsi ada dua yaitu oil
in water (o/w) atau minyak dalam
air, dan water in oil (w/o) atau air dalam minyak. Emulsi dapat
distabilkan dengan penambahan bahan pengemulsi yang disebut emulgator (Syamsuni, 2006: 118).
Adapun prinsip yang
digunakan dalam praktikum ini adalah dengan mencampurkan bahan aktif emulsi
yaitu paraffinum liquidum dengan komponen-komponen lain seperti gummi Arabicum,
sirup simpleks, aethanolum 90%, jasmine oil, dan aqua destilata yang terdapat
dalam resep dengan menggunakan metode triturasi. Menurut Ansel (2008: 206),
metode triturasi adalah metode pencampuran bahan dalam lumpang dengan
menggunakan alu. Adapun khasiat dari zat aktif parafin cair yaitu
untuk mengobati konstipasi atau sembelit (Dianne., dkk, 2013: 27). Emulgator
yang digunakan adalah emulgator alam dari tumbuhan yaitu gom arab. Sirup
simpleks dan etanol 90% sebagai penambah rasa manis dan peningkat viskositas
dari emulsi. Aqua destilata adalah bahan dasar yang digunakan untuk membuat
emulsi tipe minyak dalam air (Anief, 2010: 132).
Hal pertama yang
dilakukan dalam pembuatan sediaan ini adalah disiapkan alat dan bahan serta
dibersihkan alat yang digunakan dengan alkohol 70 %. Menurut Rowe (2009: 17),
alkohol 70 % digunakan sebagai antimikroba dan desinfektan.
Kemudian ditimbang semua bahan yaitu, paraffin cair sebanyak 17,14 ml,
aethanolum 90% sebanyak 3 ml, gom arab sebanyak 4,29 gr, sukrosa 11,7 gr dan metil
paraben 0,045 gr.
Setelah itu,
dilakukan pembuatan sirup simpleks. Pertama dipanaskan air 18 ml sampai mendidih,
kemudian dimasukkan 0,045 gr metil paraben ke dalam air yang telah dipanaskan,
diaduk sampai larut. Menurut Dirjen POM (1995: 551) sifat metil paraben sukar
larut dalam air. Sehingga diperlukan pemanasan terlebih dahulu untuk membantu
kelarutannya. Menurut Dirjen POM (1995: 551), metil paraben dalam sirup simpleks
digunakan sebagai pengawet. Kemudian dimasukkan 11,7 gr
sukrosa sedikit demi sedikit, diaduk sampai mendidih. Karena jika sukrosa dimasukkan sekaligus, akan
mempengaruhi kelarutan (Martin. A, 1983: 558). Setelah mendidih larutan
didinginkan selama beberapa menit, kemudian di tuang dalam wadah dan ditutup
menggunakan aluminium foil.
Langkah selanjutnya, dilakukan
pengenceran alkohol. Hal ini dilakukan karena kosentrasi awal alkohol adalah
95% sementara yang diperlukan adalah alkohol dengan konsentrasi 90%. Pertama yaitu
dibuat perhitungan pengenceran menggunakan rumus:
N1 x V1 = N2 x V2
|
Dari perhitungan tersebut, didapatkan alkohol
95% yang harus diukur adalah sebanyak 9,47 ml. Kemudian diukur alkohol 95%
sebanyak 9,47 ml, dan ditambahkan aqua destilata hingga 10 ml. Dimasukkan ke
dalam gelas kimia, diaduk hingga homogen dan ditutup menggunakan aluminium
foil.
Kemudian, sebelum
membuat emulsi yang dilakukan terlebih dahulu adalah mengkalibrasi botol dengan
cara, diukur air sebanyak 60 ml, kemudian air dimasukkan ke dalam botol.
Ditandai batas 60 ml pada botol, dan dituang air yang berada dalam botol.
Selanjutnya, mulai
dilakukan pembuatan emulsi dengan cara, dimasukkan gom arab sebanyak 4,29 gr ke
dalam lumpang. Kemudian ditambahkan air sebagai korpus sebanyak 3,75 ml.
Digerus hingga membentuk musilago dan mengeluarkan bunyi yang khas. Musilago
adalah campuran yang kental berwarna putih yang terlihat pada pengadukan dan
mempunyai bunyi yang spesifik (Anief, 2010: 139).
Selanjutnya, ditambahkan paraffin cair
sebanyak 17,14 ml dan digerus hingga tercampur merata, kemudian diukur alkohol
90% sebanyak 3 ml dan sirup simpleks sebanyak 18 ml, penggunaan sirup simpleks pada emulsi bertujuan sebagai
zat tambahan yang dalam hal ini adalah sebagai pemanis dan pengawet, hal ini
sesuai dengan kegunaan dari komposisi sirup simpleks yaitu menurut Dirjen POM
(1995: 55) metil paraben sebagai antimikroba dan menurut Dirjen POM (1995: 762)
sukrosa sebagai penambah rasa manis. Kemudian dimasukkan ke dalam gelas kimia
dan diaduk hingga homogen. Selanjutnya dimasukkkan campuran alkohol 90% dan
sirup simpleks ke dalam lumpang yang berisi campuran musilago dan
propileglikol, dan diaduk hingga tercampur merata. Ditambahkan aqua destilata
sebanyak 17,57 ml sedikit demi sedikit untuk mencegah pecahnya emulsi, sehingga
stabilitas emulsi tetap terjaga. diaduk hingga tercampur merata. Dan terakhir
ditambahkan jasmine oil sebagai pengaroma dalam emulsi.
Kemudian diaduk hingga semua bahan tercampur merata. Pengadukan
dilakukan secara perlahan dengan kecepatan yang stabil untuk mencegah pecahnya
emulsi, sehingga tidak merusak stabilitas emulsi (Ansel, 1989: 384).
Langkah selanjutnya, emulsi dipindahkan ke dalam gelas
kimia dan dimasukkan ke dalam botol 60 ml. Botol
yang digunakan untuk menyimpan sediaan emulsi adalah botol coklat. Dalam
sediaan oral terdapat senyawa yang peka terhadap cahaya, maka digunakan botol
berwarna coklat. Hampir semua senyawa organik peka terhadap cahaya, sehingga
kebanyakan sediaan oral cair harus dikemas dalam botol berwarna coklat (Ansel,
1989: 319). Kemudian diberi etiket dan label. Obat ini diminum dua
kali sehari 2 sendok makan, setiap 12 jam tiap pagi dan malam sebelum makan. Pada
label harus tertera tanda kocok dahulu sebelum diminum, agar bahan obat yang
terkandung dalam emulsi dapat terdistribusi secara merata kembali (Dirjen POM,
1979).
Pada percobaan ini sediaan emulsi yang telah dibuat
tidak mencapai 60 ml, hal ini terjadi karena terdapat kemungkinan kesalahan
yaitu terdapat bahan obat yang tersisa atau menempel pada alat-alat
laboratorium yang telah dipakai, seperti menempel pada lumpang, gelas ukur,
gelas kimia, dan alat laboratorium lainnya. Kemungkinan kesalahan yang lain
seperti kesalahan dalam penimbangan atau pengukuran bahan, kesalahan membaca
skala gelas ukur dan kesalahan saat pengadukan bahan obat.
IV.3 Resep
dr. Kristanto, Sp.PD
S I K : 228/FM/GTO/84
Jl. Agus Salim No. 30
Telp.
0435-875492
Gorontalo, 5 Mei 2017
R/ Paraffinum
Liquidum 10 mL
Gummi Arabicum 25
Mg
Sirup Simplex 18
mL
Aethanolum 90% 5
%
Jasmine Oil q.s
Aqua Destilata ad 30
mL
m.f Emuls da in fl No. I
ʃ
b.d.d II C a.c
Pro :
Vyra
Umur :
27 Tahun
|
IV.3.1 Narasi Resep
a.
Narasi Resep
Perkata (Anief, 2010: 1-9)
R/ : recipe :
ambillah
ʃ : signa : tandai
I : unus :
satu
II : duo :
dua
1 : unus :
satu
2,5 : duo puncthu quinque : dua koma lima
5 : quinque :
lima
10 : decem :
sepuluh
18 : duodeviginti :
delapan belas
27 : viginti Septem : dua puluh tujuh
60 : sexaginta :
enam puluh
90 : nonaginta :
sembilan puluh
a.c : ante coenam :
sebelum makan
ad : ad :
tambahkan
aetal : aetal : umur
annos : annos : tahun
b.d.d : bis de die :
dua kali sehari
C : cochlear :
sendok
da in : da in
: dalam
fl : flacon :
botol
m.f : misce fac : campur dan buatlah
ml : milli litra :
milliliter
No. : numero :
sebanyak
pro : pro :
untuk
b. Narasi
Resep Perkalimat Bahasa Latin (Anief, 2010: 1-9)
Recipe
pariffin liquidium decem, gummi arabicum duo puncthu quinque, sirup simplex
duodeviginti aethanolum nonaginta percenta quinque, jasmine oil quantum satis,
aquadestilata ad sexaginta milli litra. Misce fac emulsi da in flakon numero
unus. Signa bis de die duo cochlear ante coenam. Pro Vyra, aetal viginti septem annos.
c. Narasi
Resep Perkalimat Bahasa Indonesia (Anief, 2010: 1-9).
IV.3.2 Kekurangan Resep
Resep
ini tidak lengkap, karena tidak terdapat paraf atau tanda tangan dokter
(subscriptio) dan tidak disertakan alamat pasien. Menurut Anief (1997: 11),
resep yang lengkap harus memuat alamat pasien dan tanda tangan atau paraf
dokter yang menulis resep.
IV.3.3 Indikasi Resep
Resep ini mengandung zat aktif
paraffin cair yang diindikasikan untuk mengobati
konstipasi atau untuk orang yang susah buang air besar (IAI, 2013: 508).
IV.3.4 Interaksi
Obat
1.
Parafin cair (Tjay, 2016: 313)
Paraffin
Liquidum berinteraksi di dalam tubuh sebagai zat pelicin bagi isi usus dan
tinja. Dengan melunakkan tinja setelah pembedahan rektal.
2.
Gom Arab (Sweetman, 2009: 2141)
Gom
arab mengandung enzim pengoksidasi yang dapat mempengaruhi sediaan yang
mengandung zat teroksidasi, enzim dapat dilemahkan dengan pemanasan. Gom arab bekerja
dengan cara menurunkan tegangan antar permukaan air dan minyak serta membentuk
lapisan film pada permukaan globul-globul fase terdipersinya.
3.
Aethanolum (Ansel, 1989: 89)
Alkohol
bereaksi dengan air yang terkandung dalam sediaan emulsi untuk membunuh
mikroorganisme di dalam air. Karena, air merupakan media yang cocok untuk
pertumbuhan mikroorganisme.
4.
Sirup Simpleks (Anief, 1993: 128)
Sirup
simpleks bereaksi dengan sediaan emulsi sehingga dapat membantu untuk
memberikan rasa yang manis dan membantu meningkatkan kekentalan pada sediaan
emulsi.
IV.3.5 Penyampaian Informasi
Resep
ini merupakan sediaan untuk pemakaian dalam. Obat ini diminum 2 kali sehari 2
sendok makan, tiap 12 jam dan diminum sebelum makan. Sebelum mengkonsumsi obat
ini, harus dilakukan pengocokan agar obat dapat terdispersi kembali.
b.
Cara penyimpanan
Emulsi disimpan
dalam wadah tertutup baik, disimpan ditempat sejuk (Dirjen POM, 1995: 9).
c. Informasi
Obat
Obat ini merupakan
bentuk sediaan emulsi yang mengandung zat aktif paraffin cair. Menurut Tjay
(2015: 313), paraffin liquidum digunakan untuk mengatasi sembelit. Obat ini diminum
2 kali sehari 2 sendok makan tiap 12 jam, sebelum makan. Sebelum digunakan,
obat ini harus dikocok dahulu. Obat ini diminum setiap 12 jam sekali atau
setiap pagi dan malam 2 sendok makan.
IV.3.5 Perhitungan
Dosis
1. Paraffin
Cair
Dosis Parrafin Cair : 15-30 ml (Tjay,
2015: 313)
Dosis Maksimal Sehari = 27/ 20 x 15-30 ml
=
20,25-40,5 ml
Dosis Sehari = 2 x 20 ml
=
40 ml
Dosis maksimal
sehari dari paraffin cair untuk umur 27 tahun adalah 20,25-40,5 ml, sedangkan
dosis sehari yang tertera pada resep adalah 40 ml. Maka dapat disimpulkan
bahwa, resep tersebut tidak over dosis karena dosis sehari masuk dalam rentang
dosis maksimal.
IV.3.6 Perhitungan Bahan
1.
Paraffinum Liquidum = 10/35 x 60 =
17,14 ml
2.
Gummi Arabicum = 2,5/35 x 60 = 4,29 gr
3.
Sirup Simplex = 18 ml
Sukrosa = 65/100 x 18 = 11,7 gr
Metil
paraben = 0,25/100 x 18 = 0,045 gr
Aqua
destilata = 35/100 x 18 = 6,3 ml
4.
Oleum Rosae = q.s
5.
Aethanolum 90% = 5/100 x 60 = 3 ml
6.
Aqua Destilata =
60 ml – (17,14+4,29+18+3) = 17,57 ml
IV.4 Farmakologi Paraffin Liquidum
Menurut Dipiro (2005: 1097),
Paraffin Liquid diabsorbsi, didistribusi, dimetabolisme dan dieksresikan
sebagai berikut:
a.
Absorbsi
Paraffin Liquidum tidak dicerna
didalam usus dan hanya sedikit diabsorpsi. Yang diabsorpsi ditemukan pada limfa
nodus mesenteric, hati dan limfa. Kebiasaan menggunakan Paraffin Liquid akan mengganggu
absorpsi zat larut lemak, misalnya absorpsi karoten menurun 50%,absorpsi
vitamin A dan vitamin D juga akan menurun. Absorpsi vitamin K menurun dengan akibat
hipo protrombinemia dan juga dilaporkan terjadinya pneumonia lipid.
b.
Distribusi
Paraffin didistribusi di usus, untuk melembekkan
feses.
c.
Metabolisme
Paraffin dimetabolisme ditempat yang sama dengan
tempat didistriusi yaitu diusus, untuk melembekkan feses.
d.
Ekskresi
Paraffin dieksresikan bersama dengan feses.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
1. Emulsi
adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan lain
dalam bentuk tetesan kecil. Emulsi berasal dari kata "emulgeo” yang artinya menyerupai susu, dan warna emulsi memang
putih seperti susu. Untuk tipe emulsi terdiri dari dua, yaitu tipe oil in water (o/w) atau minyak dalam air dan water
in oil (w/o) atau air dalam
minyak.
2. Emulsi
dipergunakan sebagai obat dalam atau per oral yang biasanya emulsi tipe o/w dan
untuk penggunaan luar bisa tipe o/w maupun w/o, tergantung pada banyak faktor,
misalnya sifat zatnya atau efek terapi yang dikehendaki.
3. Sediaan
emulsi disimpan dalam kemasan yang tertutup rapat agar menghindari masuknya
partikel atau zat padat serta zat cair dari luar wadah agar tidak masuk.
4. Pembuatan
emulsi dapat dilakukan menggunakan 3 metode yaitu metode gom kering, gom basah,
dan botol forbes. Pada praktikum sediaan emulsi ini, digunakan metode gom
kering, karena zat pengemulsi dicampur dengan minyak lebih dulu, kemudian
ditambah air untuk membentuk korpus emulsi kemudian diencerkan dengan sisa air
yang tersedia.
V.2 Saran
V.2.1 Jurusan
Sebaiknya jurusan menyediakan anggaran demi kebutuhan
laboratorium agar praktikum berjalan
lebih maksimal.
V.2.2 Laboratorium
Sebaiknya laboratorium menyediakan sarana dan prasana
terutama pada ketersediaan alat dan bahan agar praktikum berjalan efisien.
V.2.3 Asisten
Sebaiknya asisten agar lebih memperhatikan dalam
penjelasannya yang lebih simpel kepada praktikannya.
V.2.4 Praktikan
Sebaiknya praktikan agar lebih
memperhatikan penjelasan asisten sehingga dapat menambah pengetahuan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anief,
M. A. 2004. Ilmu Meracik Obat.
Yogyakarta: UGM Press.
Anief,
M. A. 2005. Manajemen Farmasi.
Yogyakarta: UGM Press.
Anief,
M. A. 2006. Ilmu Meracik Obat Teori Dan
Praktik. Yogyakarta: UGM Press.
Anief,
M. A. 2010. Penggolongan Obat Berdarkan
Khasiat dan Penggunaan. Yogyakarta: UGM Press.
Ansel,
H.C. 1989. Pengatar Bentuk sediaan
Farmasi Edisi 4. Jakarta: UI Press.
Ansel,
H.C. 2008. Pengatar Bentuk sediaan
Farmasi. Jakarta: UI Press.
Dianne. Y., et al. 2013. Cdk.200/Vol. 40 No. 1. Konstipasi Pada Anak. Padang: Universitas
Andalas
Dipiro. 2005. Handbook of Phamacoteraphy 6th.
The MC. Grawhillcompany. USE
Dirjen
POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi
Ketiga. Jakarta: Depkes RI.
Dirjen
POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi
Ke-IV. Jakarta: Depkes RI.
Gennaro,
A. R. 1990. Remingtons Pharmaceuticals
Science 18th ed. Marc Public Co. Easton
IAI.
2013. ISO Indonesia Informasi Spesialite
Obat, Volume 48. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.
IAI.
2016. MIMS Indonesia Pentunjuk Konsultasi.
Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.
Jenkins,
G. L, et al. 1957. Scoviels The Art Of
Compounding. London: Pharmaceutical Press.
Lachman,
L., et al. 1957. Teori dan Praktek
Farmasi Industri. Jakarta: UI Press.
Martin,
A. et al. 1990. Farmasi Fisik. Jakarta: UI Press.
Rowe,
R.C., et al. 2009. Handbook of
Pharmaceutical Excipients 6th edition. London: Pharmaceutical
Press.
Sweetnam,
S.C. 2009. Martindale 36 th edition.
London: Pharmaceutical Press.
Syamsuni,
H. A. 2006. Ilmu Resep. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tranggono,
S. 1991. Bahan Tambahan Makanan (Food
Additive). Yogyakarta: Soerongan.
Tjay,
T.H., Rahardja, K. 2002. Obat-obat
Penting Edisi ke 7. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo.
Uffelie,
O. F. et al. 1954. Ilmu Resep dan Praktek Teori. Jakarta: Soerongan.
Williams,
P. A. et al. 2004. Handbook Of Gummi
Arabic. North East: Wales Institute.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar